Powered By Blogger

Rabu, 19 Oktober 2011

GDP SEBAGAI INDIKATOR KINERJA PEREKONOMIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA




GDP SEBAGAI INDIKATOR KINERJA PEREKONOMIAN
INTERNASIONAL DI INDONESIA

                              

Rindyah hanafi

 

 

Pendahuluan


Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meski ada wacana lain seperti pengangguran, inflasi,  kemiskinan  dasn sebagainya. Pertumbuhan ekonomi suatu negara menjadi penting, karena dapat menjadi salah satu ukuran pencapaian perekonomian negara, meski tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran lainnya. Anindita (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan.
Dalam pencapaian tingkat pertumbuhan yang diinginkan tentu akan ada sektor-sektor lain yang akan menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa komponen pembentuk Gross Domestik Product (GDP) yang dapat menjadi motor penggerak  pertumbuhan ekonomi atau peningkatan GDP oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara harus diupayakan untuk menciptakan situasi dan kondisi yang mampu membuat beberapa komponen yang diyakini dapat menjadi motor penggerak bagi peningkatan GDP, mencapai kondisi optimal sehingga pertumbuhan ekonomi yang diingikan dapat dicapai.
Salah satu yang dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan internasional. Jika aktivitas perdagangan internasional adalah ekspor dan impor,  maka salah satu dari komponen tersebut atau dua-duanya dapat menjadi penggerak dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan.
Ketika terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang semakin  besar  yang ditandai dengan peningkatan impor suatu jenis barang pada negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang tersebut di negara  importer.
Berkaitan dengan GDP Indonesia dapat diawali dengan mencermati GDP dari tahun ke tahun. Dari pencermatan yang dapat dilihat bagaimana peran ekspor yang dijadikan sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan  mengalami peningkatan dalam kontribusinya pada pertumbuhan. Perkembangan nilai ekspor dan impor dapat dilihat pada tabel 1. dimana nilai ekspor dan impor Indonesia meningkat cukup besar.


Tabel 1. Nilai Ekspor dan Impor  Indonesia dalam Juta U$$

Tahun
Ekspor
Impor
2000
62.124
33.515
2001
56.320,9
30.962,1
2002
57,158,8
31.288,9
2003
61.584,6
32.550,7
2004
71.584,0
46.524,5
2005
86.660,0
57.700,9
2006
100.798,6
61.065,5
               Sumber : BPS dalam (Anindita, 2008)


 Perdagangan internasional dunia telah mengalami ekspansi besar-besaran selama tiga dasawarsa terakhir ini. Perubahan ini dipicu oleh perkembangan teknologi dalam bidang transportasi dunia dan komunikasi, keuangan dan sistem perdagangan yang lebih terbuka telah mendorong peningkatan pendapatan negara-negara di berbagai kawasan.  Beberapa negara telah sukses menggunakan pasar dunia sebagai landasannya untuk pembangunan ekonomi misalnya; China, Korea Selatan) sementara negara lain kemajuan ekonominya terhambat karena mengabaikan dukungan perdagangan dan pengaruh dari luar negeri. Pengaruh globalisasi mengakibatkan hampir seluruh negara sepakat untuk memperoleh keuntungan dengan cara menaikkan pertumbuhan ekonomi domestik secara optimal.
Menurut Fane (1996) Indonesia memiliki ekonomi yang relatif terbuka, Ferdianus setiawan dan Pangestu (2003), liberalisasi di Indonesia dimulai sejak 1980 dan modernisasi sistem pajak disekitar tahun1983 dan 1985. Hal ini karena Indonesia bergabung dalam AFTA (Asian FreeTrade Area), APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) dan WTO (Word Trade Organization) sehingga perdagangan Internasional menjadi sangat penting bagi perekonomian Indonesia.
Dalam perkembangan perdagangannya Indonesia banyak mengalami hambatan akibat nilai tukar rupiah yang terus merosot dan beberapa kali mengalami devaluasi. Sejak tahun 1986 nilai tukar rupiah ditetapkan nilai tukar baru dimana nilai tukar rupiah ditetapkan sebagai floating exchange rate.  Pada krisis ekonomi moneter tahun 1997 nilai tukar  rupiah sempat jatuh terpuruk hingga mencapai mencapai Rp15.000/U$$. Kemudian  pada  kwartal terakhir 2008  terjadi krisis ekonomi global yang yang juga menyebabkan rupiah terpuruk. Saat ini kisaran  nilai tukar  rupiah mengambang pada kisaran  Rp 9000-12.000/U$$.

Perkembangan nilai ekspor dan impor Indonesia dimana nilai ekpor dan impor Indonesia meningkat cukup besar.  Pada tahun 2000 sebesar 62.124  juta U$$ dan 33.315 juta U$$  terus meningkat tahun sampai tahun 2006 sebesar  100.789 JUTA U$$  dan  61.065,5 U$$ .

Akibat liberalisasi perdagangan GATT (General Agreement on Trade and Tariff and Trade) hanpir semua negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Liberlisasi perdagangan cukup besar pengaruhnya dalam meningkatkan kapasitas produksi nasional, karena pasar yang semakin terbuka.  Pembatasan ruang lingkup pada makalah ini menekankan pada melihat peluang eksport dan investasi yang terjadi yang berakibat pada peningkatan produksi dalam negeri dan peningkatan GDP dengan  melihat kinerja keuangan yang diukur dari indikator ekonomi negara tersebut.


The Big Five GDP in the World 2007
Peringkat
Negara
GDP (juta dollar)
proporsi
1
Amerika Serikat
13.811.200
25,51%
2
Uni Eropa
12.179.250
22,63%
3
Jepang
4.379.705
8,24%
4
Jerman
3.379.233
6,31%
5
China
3.280.053
6,26%

Dunia
54.347.038
100%
Sumber: World Bank  2007, diolah


            Data Bank Dunia menunjukkan Amerika Serikat menunjukkan peringkat ke-1 dengan  25,51 % dari GDP dunia seperti yang tercamtum pada tabel 1. Disusul Jepang, Jerman dan China. Peringkat kedua dari GDP dunia akan membawa pengaruh cukup besar bagi perekonomian dunia secara otomatis akan diwarnai aktivitas ekonomi negara Uni Eropa . Menurut Bank Dunia (2007), Jerman adalah negara yang paling besar yang memberikan kontribusi dari GDP negara  Uni Eropa disusul Inggris dan Luxembourge, merupakan penyumbang GDP terkecil dari GDP negara Uni Eropa. Besarkecilnya GDP yang diperoleh suatu negara menunjukkan intensitas ekonomi mereka. Makin tinggi intensitas aktivitas ekonomi negara tertentu akan ditunjukkan dengan semakin tingginya GDP negara tersebut, sehingga secara otomatis akan memberi peluang bagi negara lain untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan negara-negara ber GDP besar. 

GDP adalah ukuran atas nilai pasar output berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, dan modal yang dihasilkan dalam suatu negara dalam periode waktu tertentu . Case and Fair (2005:396:400). Dalam menghitung besaran GDP, dapat digunakan pendekatan pengeluaran. Pendekatan pengeluaran menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri atas barang konsumsi atau jasa maupun barang modal. Pengeluaran dari pelaku atas ekonomi luar negeri  dihitung dengan mengurangkan permintaan dalam negeri (impor) atas barang dan jasa luar negeri. Case and Fair (2005:396:400) . GDP adalah ukuran atas nilai pasar output berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, dan modal yang dihasilkan dalam suatu negara dalam periode waktu tertentu. Case and Fair (2005:396:400). Dalam menghitung besaran GDP, dapat digunakan pendekatan pengeluaran. Pendekatan pengeluaran menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri atas barang konsumsi atau jasa maupun barang modal. Pengeluaran dari pelaku atas ekonomi luar negeri  dihitung dengan mengurangkan permintaan dalam negeri (impor) atas barang dan jasa luar negeri. Case and Fair (2005:396:400).

            Berdasarkan tabel 3. Komponen pembentuk GDP  58,62 berasal dari pengeluaran rumah tangga untuk barang konsumsi  dari berbagai negara negara besar didunia artinya angka GDP banyak dipicu oleh rumah tangga dibanding, pemerintah, perusahaan, dan permintaan luar negeri.  Walaupun ekonomi rumah tangga negara Uni Eropa, Jepang, dan China  memberikan kontribusi terbesar GDP belum dapat menanding Amerika Serikat dengan kontribusi pengeluaran rrumah tangga 69,3% terhadap GDP. Semakin besar angka kontribusi terhadap perolehan GDP semakin besar peranan rumah tangga dalam melakukan intensitas aktivitas ekonomi mereka dibanding pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan paling rendahnya kontribusi pemerintah terhadap perolehan GDP di  Amerika Serikat sebesar 19,06% dibanding negara lain. Dalam tabel 3. menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri  Amerika Serikat atas barang impor lebih tinggi dibandingkan permintaan luar negeri Amerika Serikat atas barang-barang produksi Amerika Serikat, sedangkan negara lainnya menunjukkan angka sebaliknya termasuk negara Uni Eropa.

Tabel 3. Kontribusi Pengeluaran Pelaku Ekonomi Terhadap GDP

Negara
Domestik Demand
Foreign demand
rumah tangga
pemerintah
Rumah tanggga pemerintah atas barang modal dan persediaan
atau selisih antara ekspor impor
Atas barang konsumsi
euronzone                                                                                                                                                                                       
57%
19%
20,96%
1,66%
EU
58,62%
20,14%
20,14&
1,15%
Main Partner

USA
58,62%
20,14%
20,14&
1,15%
Jepang
69,30%
17,42%
25,48%
0,63%
China
56,68%
18,72%
19,27%
5,17%






Sumber : Eurostat, diolah

Dengan melihat tabel 3, maka perusahan di  Indonesia harus melihat kebutuhan rumah tangga baik barang konsumsi yang durable, non durable dan jasa. Semua negara Uni Eropa juga memperlihatkan pola pengeluaran yang sama yang banyak didominasi rumah tangga. Apabila  dijumlahkan semua pengeluaran yang dilakukan rumah tangga, perusahaan maupun pemerintah baik dalam wujud barang konsumsi, jasa dan barang modal akan dapat diketahui permintaan dalam negeri. Semakin tinggi angka GDP apalagi ditunjang permintaan dalam negeri jelas menunjukkan intensitas yang tinggi atas aktivititas ekonomi negara tersebut dan selanjutnya akan memicu permintaan atas barang dan jasa termasuk dari Negara lain.

Melihat angka GDP saja tidaklah Cukup untuk menggambarkan aktivitas ekonomi suatu negara. Angka GDP akan memberi makna apabila dibandingkan dengan dengan GDP tahun lalu. Dalam ilmu ekonomi membandingkan GDP antar periode disebut pertumbuhan ekonomi. Apabila angka GDP antar periode menunjukkan penurunan sepanjang masih positif, yang berarti angka peningkatan jumlah out put suatu negara pada periode tertentu lebih kecil dibandingkan angka GDP periode sebelumnya. Penurunan angka GDP apabila diikuti dengan jumlah pengangguran akan menimbulkan permasalahan ekonomi yang disebut resesi . Case and Fair(2005:416).

GDP Sebagai Indikator Kinerja Perekonomian Internasional

Kinerja Ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja yang belum baik. Hampir seluruh indikator dari pilar ini menunjukkan posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti : Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Kinerja Ekonomi, dengan indikator  GDP menunjukkan posisi yang cukup baik diraih oleh Indonesia.  GDP menunjukkan dimana posisi Indonesia lebih baik dari negara-negara ASEAN lainnya.
Beberapa indikator lain, posisi Indonesia berada pada peringkat yang kurang baik. Bahkan berdasarkan data yang ada posisinya lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Indikator tersebut antara lain :
  • Pertumbuhan pengangguran  pada tahun 2004 dimana Indonesia menempati ranking tertinggi dari negara-negara ASEAN seperti : Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
  • Indeks pembangunan manusia pada tahun 2005 menempati posisi terendah dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
  • Indeks kemiskinan menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
  • Pembentukan Modal Kotor (Gross Capital Formation) sebagai % dari GDP pada periode tahun 1995 sampai dengan tahun 2005, Indonesia pada posisi terendah dari negara-negara ASEAN lainnya.
  • Perdagangan sebagai % dari GDP pada tahun 2006, Indonesia  terendah diantara negara ASEAN lainnya.
  • Ekspor barang dan jasa sebagai % dari GDP pada tahun 2006, Indonesia menempati posisi terendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
  • Biaya pendaftaran bisnis sebagai % dari GNI (Gross National Income atau Pendapatan Nasional Kotor) per Kapita pada tahun 2006, Indonesia menempati ranking tertinggi. Sebagai perbandingan, Singapura mempunyai angka 0,8 sedangkan Indonesia 86,7.
  • Jumlah hari untuk memulai sebuah bisnis pada tahun 2008, Indonesia menempati urutan tertinggi  (105 hari), sedangkan Singapura hanya 5 hari.
  • Biaya yang diperlukan untuk melakukan klaim dalam pelaksanaan kontrak (Cost to Enforce a Contract) yang dinyatakan sebagai persentase dari nilai klaim pada tahun 2006 menunjukkan di Indonesia relatif tinggi (126,5%). Pilar Sistem Inovasi
Kinerja Sistem Inovasi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja yang belum baik. Hampir seluruh indikator kinerja sistem inovasi menunjukkan posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dari 20 indikator kinerja variabel Sistem Inovasi hanya beberapa variabel yang posisi Indonesia lebih baik dari beberapa negara ASEAN, antara lain, Penerimaan Fee Royalti dan Lisensi (peringkat ke 2 setelah Singapura). Berdasarkan data yang ada, beberapa indikator lainnya posisinya lebih rendah dibandingkan Vietnam, indikator tersebut antara lain :
  • Jumlah peneliti di litbang per juta orang penduduk.
  • Total belanja litbang sebagai % dari GDP.
  • Perdagangan manufaktur sebagai % dari GDP.
  • Artikel pada jurnal sains dan teknik.
Indikator variabel Pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja yang belum baik. Hampir seluruh indikator kinerja Sistem Pendidikan menunjukkan posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Bahkan untuk hal tertentu lebih rendah dari negara Vietnam. Variabel tersebut adalah Tingkat Pendidikan Menengah (tahun 2006), Harapan Hidup pada Kelahiran (tahun 2005).
Kinerja Sistem Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja yang belum baik. Hampir seluruh indikator kinerja sistem TIK menunjukkan posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, posisi terendah tersebut antara lain :
  • Jumlah Koran (Harian) yang diterbitkan paling sedikit empat kali dalam seminggu per 1.000 orang pada tahun 2000 adalah 23.
  • Internasional Internet Bandwith (bits per orang) pada tahun 2005.
  • Belanja TIK sebagai % dari GDP pada tahun 2006.
Sebagai perbandingan, Malaysia memiliki KEI sebesar 6,06. Kontribusi pilar rejim dan kinerja ekonomi KEI adalah 6,18; inovasi 6,83; pendidikan 4,14; dan kontribusi pilar TIK 7,08. Data ini menunjukkan bahwa pilar rejim dan kinerja ekonomi, pilar inovasi dan pilar TIK sangat menonjol di Malaysia. Untuk dapat menyamai Malaysia maka Indonesia secara rata-rata harus ditingkatkan 2 kali dari masing-masing pilar.
Berdasarkan uraian di atas dapat  diulas  tiga macam indikator makro ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan investasi asing. Pengukuran pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di Indonesia menggunakan Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Produc/GDP) yang dihitung menggunakan harga berlaku atau bisa juga berdasarkan harga tetap pada suatu tahun dasar. PDB Indonesia adalah nilai barang dan jasa yang dilakukan oleh seluruh faktor produksi di Indonesia baik yang dimiliki oleh orang Indonesia sendiri maupun oleh orang asing. Jadi PDB tidak menyangkut siapa yang memiliki faktor produksi tetapi menyangkut siapapun yang memiliki faktor produksi di wilayah Indonesia.
Biasanya angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipublikasikan BPS dan yang digunakan oleh para ekonom, dihitung berdasarkan berapa persen pertumbuhan PDB Indonesia dengan mengunakan suatu tahun dasar, misalnya tahun 1993. Sedangkan angka pendapatan perkapita dihasilkan melalui membagi PDB Indonesia pada suatu periode (biasanya satu tahun) dengan jumlah penduduk Indonesia. Misalnya dikatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1996 adalah 8,7 persen, berarti PDB Indonesia tumbuh sebesar 8,7 persen dengan menggunakan PDB tahun dasar 1993.
Investasi asing di Indonesia meliputi dua jenis, yaitu investasi sektor riil atau biasa juga disebut investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) misalnya investasi disektor industri, pertanian, pertambangan, dan investasi sektor non riil atau investasi tidak langsung (Foreign Indirect Investment) berupa investasi di sektor keuangan dan pasar modal (sektor moneter/sektor maya). Besarnya arus modal asing masuk ke Indonesia, selain menggerakkan roda usaha sektor riil juga diharapkan dapat memperbesar arus perputaran uang di pasar uang, menambah kapitalisasi pasar modal/bursa saham Indonesia, serta memperbaiki/menutupi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia yang selama ini selalu dialami Indonesia.
Jika pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita serta arus masuk modal asing ke Indonesia tinggi, apakah hal itu menggambarkan majunya perekonomian Indonesia seperti yang biasanya diinginkan pemerintah dan para analis? Belum tentu!
Tingginya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan perkapita belum menjamin baiknya atau majunya perekonomian nasional apalagi kalau dihubungkan dengan tingkat kesejahteraan anggota masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia sebelum era krisis, tidak menggambarkan bahwa yang mengalami pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, justru sebaliknya yang mendorong pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki orang asing dan para konglomerat. Ketika masih jayanya Orde Baru, 12 konglomerat Indonesia menguasai sekitar 35 persen PDB Indonesia. Jadi selama ini malah usaha milik orang asing yang ditumbuhkan pemerintah bukan usaha dalam negeri, bukan pula usaha yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat tetapi usaha yang digeluti oleh para konglomerat.
Begitu pula dengan semakin meningkatnya pendapatan perkapita Indonesia tidak menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan setiap warga negara Indonesia. Adalah sungguh naif mengatakan pendapatan perkapita ini sebagai cermin bertambahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hasil penelitian LIPI membuktikan bahwa sebelum krisis terjadi 5000 orang Indonesia atau 0,02 persen dari penduduk Indonesia menguasai 30 persen perekonomian nasional. Penelitian Aris Ananta dkk (1995) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, 40 persen (75,3 juta jiwa) lapisan masyarakat yang berpendapatan paling bawah (US$ 266) hanya menikmati 14,6 persen pendapatan nasional dan 40 persen (75,3 juta jiwa) lagi penduduk lapisan berpendapatan menengah (US$ 755) menikmati 41,52 persen pendapatan nasional, sedangkan 20 persen (37,7 juta jiwa) lapisan masyarakat berpendapatan tertinggi (US$ 2.592) menikmati 43,87 persen pendapatan nasional. Hasil analisa konsultan McKinsey berdasarkan potensi aset private banking (uang yang dimiliki nasabah secara personal) menyebutkan bahwa 64 ribu orang Indonesia menyimpan sekitar 257 miliar dolar Amerika di perbankan luar negeri. Ini berarti semakin ke depan, pembangunan ekonomi Indonesia malah semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi.
Penggunaan konsep pendapatan perkapita yang diukur dari PDB menggambarkan jauh panggang dari api. Di dalam PDB terdapat milik orang asing yang konstribusinya cukup besar. Jadi bagaimana mungkin PDB digunakan sebagai basis menghitung pendapatan perkapita bagi warga negara Indonesia. Jumlah yang besar dan terus bertambah dari investasi asing di Indonesia membuktikan ketergantungan yang besar perekonomian dalam negeri terhadap luar negeri. Ini bukanlah hal yang menggembirakan apalagi bila dihubungkan dengan kepercayaan luar negeri. Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia ?
Secara hitungan agregat dari nilai bersih (net) arus masuk modal asing (capital inflow) ke Indonesia dengan arus pelarian modal ke luar negeri (capital outflow), ternyata modal asing tidak menambah saving dalam negeri maupun memperbaiki neraca pembayaran Indonesia, tetapi yang terjadi nilainya negatif bagi Indonesia. Angka-angka neraca pembayaran yang diterbitkan oleh IMF, selama periode 1973-1993, menunjukkan setiap 1 dolar Amerika yang masuk sebagai investasi asing akan diikuti oleh keluarnya 10,19 dolar Amerika dari Indonesia. Artinya setiap sekian miliar dolar Amerika investasi asing masuk ke Indonesia akan diikuti sepuluh kali lipatnya uang yang keluar dari Indonesia. Ini merupakan suatu resiko yang harus dihadapi dari repatriasi keuntungan ke luar negeri oleh para investor. Pun dengan terjadinya praktek transfer pricing oleh para investor yang semakin menambah beban neraca pembayaran Indonesia.
Investasi asing bagi perekonomian riil baik terhadap negara maupun masyarakat sangat merugikan. Sekarang banyak investasi asing yang memasuki wilayah publik serta sumber daya alam (SDA). Dari pelabuhan laut sampai udara, dari industri semen sampai obat-obatan, dari indsutri telekomunikasi sampai ke transportasi. Tentu dengan dikuasainya aset-aset pelayan publik ataupun indsutri yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, maka pihak asing sangat dominan dalam mengatur supply dan menentukan harga. Kemudian dibukanya kran pertambangan seperti minyak bumi dan gas alam, emas dan tembaga, serta SDA lainnya, menyebabkan terkurasnya SDA tersebut untuk kepentingan asing seperti kasus pertambangan Freefort di Irian/Papua. Seharusnya pertambangan tersebut adalah milik rakyat Indonesia yang digunakan sepenuhnya bagi mereka dan dikelola oleh negara, bukan investor asing. Tidak jarang juga investor asing memasuki skope usaha yang lebih kecil yang menyebabkan perekonomian masyarakat semakin tersingkir. Adalah sangat naif kebijakan pemerintah sekarang dengan mengupayakan “sekuat-kuatnya” untuk meningkatkan kepercayaan para investor luar negeri terhadap perekonomian Indonesia agar mereka menanamkan modalnya di Indonesia. Mengapa ? karena hal ini sama saja pemerintah menaruh kepercayan kepada investor luar negeri agar mereka menggorok usaha-usaha ekonomi masyarakat serta mencekik hak masyarakat terhadap pelayanan publik dan hak akan manfaat dari sumber daya alam Indonesia.
Berdasarkan penilaian ketiga indikator tersebut, tidaklah layak bagi kita untuk menjadikannya sebagai faktor utama yang harus dipercayai untuk mengukur maju mundurnya perekonomian Indonesia. Apalagi bila dijadikan sebagai target utama pembangunan. Terbukti tingkat kepercayaan yang luar biasa atas indikator makro ekonomi tersebut, pemerintah dan seluruh masyarakat tertipu, bahwa selama ini tidak “merasa” terdapat bahaya yang telah menghadang Indonesia.
Dan sampai sekarang, pemerintah dengan didukung analis ekonomi pro pasar bebas (kapitalis), tetap menjadikan ketiga indikator tersebut, terutama pertumbuhan ekonomi dan investasi asing sebagai basis dan asas perekonomian dalam negeri. Kebijakan atas indikator makro ekonomi ini, tentu  sangat mengecewakan. Di sisi lain untuk mengedepankan indikator lain yang lebih menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia, pemerintah sejak era krisis justru semakin mengencangkan pegangannya pada pertumbuhan ekonomi dan investasi asing.
Terlalu percayanya pemerintah dan para analis terhadap indikator makro ekonomi tersebut, harus digugat, pertama karena menyebabkan negara ini lalai dan tidak waspada terhadap bahaya besar yang menimpa negara dan masyarakat Indonesia. Kedua, karena kebijakan tersebut secara riil mencerminkan pembangunan dilakukan untuk pihak asing dan pihak konglomerat bukan untuk masyarakat. Ketiga, supaya pemerintah menghentikan kebijakan-kebijakan yang terlalu mempercayai dan berpegang teguh pada indikator makro ekonomi tersebut yang selama ini dijadikan sebagai landasan pembangunan ekonomi. Keempat, supaya pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan pembangunan yang benar-benar bermanfaat bagi setiap individu masyarakat Indonesia, dan berusaha untuk merubah asas dan pola sistem ekonomi yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Untuk mengetahui perkembangan pembangunan dan perekonomian, seharusnya yang diutamakan dan menjadi target adalah indikator-indikator yang lebih menyentuh bagaimana gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, karena itu indikator ekonomi tidak boleh lepas dari dari indikator sosial dan hukum. Misalnya indikator sosial-ekonomi-hukum yang menjadi alat ukur utama dan target pembangunan dan perekonomian nasional adalah indikator tingkat terpenuhi-tidaknya kebutuhan-kebutuhan primer setiap warga negara yang meliputi makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan keamanan, indikator kemiskinan, ketenagakerjaan dan pengangguran, kriminalitas. Hal ini bukan berarti mengabaikan pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya tidak menjadikannya sebagai target utama dan asas pembangunan. Bahkan sampai berapa jumlah gepeng, WTS, korupsi, pencurian/perampokan dan tindakan kriminal lainnya harus diketahui apakah menurun ataukah meningkat. Percuma pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita tinggi jika jumlah gepeng, WTS, kriminal, pengungsi di negeri sendiri, orang kelaparan, pelajar dan mahasiswa yang berhenti sekolah/kuliah meningkat pula.  Sia-sia pula pertumbuhan ekonomi tinggi jika yang tumbuh adalah sektor riil dari bidang yang tidak halal seperti sektor pelacuran, perjudian, pariwisata yang penuh maksiat, dan terutama jika yang menopang pertumbuhan tersebut adalah sektor non riil seperti pasar uang dan bursa saham.
Memang untuk menghitung indikator-indikator tersebut dalam kondisi sekarang cukup sulit, juga perlu definisi dan standar atas indikator tersebut. Tetapi ini harus diusahakan, agar kita mendapatkan gambaran yang jelas dan riil sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah tidak salah arah lagi.
Satu hal yang paling penting untuk perbaikan ekonomi secara menyeluruh dan komprehensif, memerlukan perbaikan di bidang-bidang lainnya, sehingga harus ada kebijakan untuk merubah sistem ekonomi dan sistem hukum lainnya. Harus ada upaya untuk merubah sistem ekonomi sekarang yang notabene sistem ekonomi kapitalis, ke sistem ekonomi alternatif yaitu sistem ekonomi Islam. Jika tidak dilakukan, mungkin  indikator makro ekonomi yang diutamakan dan menjadi target pembangunan ekonomi adalah indikator makro ekonomi seperti yang  dipermasalahkan tersebut.
Daftar Pustaka
Aninndita , Ratya dan  R.Reed, Michael, 2008, Bisnis dan Perdagangan Internasional, Penerbit Andi..
Case E, Karl and Fail C. Ray, 2005, Principle of Economics, Prentice Hall international Inc, New Jersey,
 Madura, Jeff, 2000. International Finacial Marketing, South Western College Publishing.
Salvatore Dominic, 2003,  International Economic,   Prentice Hall international Inc, New Jersey.
-----------, 2006, Eurostat, Collection New Release , Theme Economic and Finance.
World Bank, 2007, World Development Indicator Database .
Bamk Indonesia, 2007, Indikator moneter dan perbankan
Statistik Ekpor Impor, 2007. Prentice Hall international Inc, New Jersey


      

3 komentar:

  1. Mateb bune kudune awakmu sing dadi menteri ...

    BalasHapus
  2. Ya...aku wis dadi menteri urusan pawon :))

    BalasHapus
  3. kita juga punya nih artikel mengenai 'Indikator Makroekonomi', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6265/1/JURNAL%20SKRIPSI.pdf
    terimakasih

    BalasHapus