GDP SEBAGAI INDIKATOR KINERJA PEREKONOMIAN
INTERNASIONAL
DI INDONESIA
Rindyah hanafi
Pendahuluan
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah
satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meski ada wacana lain seperti
pengangguran, inflasi, kemiskinan dasn sebagainya. Pertumbuhan ekonomi suatu
negara menjadi penting, karena dapat menjadi salah satu ukuran pencapaian
perekonomian negara, meski tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran lainnya. Anindita
(2008) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator
kemajuan pembangunan.
Dalam
pencapaian tingkat pertumbuhan yang diinginkan tentu akan ada sektor-sektor
lain yang akan menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa
komponen pembentuk Gross Domestik Product (GDP) yang dapat menjadi motor
penggerak pertumbuhan ekonomi atau
peningkatan GDP oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemerintah suatu negara harus diupayakan untuk menciptakan situasi dan kondisi
yang mampu membuat beberapa komponen yang diyakini dapat menjadi motor
penggerak bagi peningkatan GDP, mencapai kondisi optimal sehingga pertumbuhan
ekonomi yang diingikan dapat dicapai.
Salah
satu yang dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan adalah perdagangan
internasional. Jika aktivitas perdagangan internasional adalah ekspor dan
impor, maka salah satu dari komponen
tersebut atau dua-duanya dapat menjadi penggerak dapat menjadi motor penggerak
pertumbuhan.
Ketika
terjadi perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan
kemungkinan memindahkan tempat produksi. Peningkatan ukuran pasar yang
semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor suatu
jenis barang pada negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi barang
tersebut di negara importer.
Berkaitan
dengan GDP Indonesia dapat diawali dengan mencermati GDP dari tahun ke tahun.
Dari pencermatan yang dapat dilihat bagaimana peran ekspor yang dijadikan
sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan
mengalami peningkatan dalam kontribusinya pada pertumbuhan. Perkembangan
nilai ekspor dan impor dapat dilihat pada tabel 1. dimana nilai ekspor dan
impor Indonesia meningkat cukup besar.
Tabel 1. Nilai Ekspor dan Impor Indonesia dalam Juta U$$
Tahun
|
Ekspor
|
Impor
|
2000
|
62.124
|
33.515
|
2001
|
56.320,9
|
30.962,1
|
2002
|
57,158,8
|
31.288,9
|
2003
|
61.584,6
|
32.550,7
|
2004
|
71.584,0
|
46.524,5
|
2005
|
86.660,0
|
57.700,9
|
2006
|
100.798,6
|
61.065,5
|
Sumber : BPS dalam (Anindita, 2008)
Perdagangan internasional dunia telah
mengalami ekspansi besar-besaran selama tiga dasawarsa terakhir ini. Perubahan
ini dipicu oleh perkembangan teknologi dalam bidang transportasi dunia dan
komunikasi, keuangan dan sistem perdagangan yang lebih terbuka telah mendorong
peningkatan pendapatan negara-negara di berbagai kawasan. Beberapa negara telah sukses menggunakan
pasar dunia sebagai landasannya untuk pembangunan ekonomi misalnya; China, Korea
Selatan) sementara negara lain kemajuan ekonominya terhambat karena mengabaikan
dukungan perdagangan dan pengaruh dari luar negeri. Pengaruh globalisasi mengakibatkan
hampir seluruh negara sepakat untuk memperoleh keuntungan dengan cara menaikkan
pertumbuhan ekonomi domestik secara optimal.
Menurut Fane (1996) Indonesia memiliki ekonomi
yang relatif terbuka, Ferdianus setiawan dan Pangestu (2003), liberalisasi di
Indonesia dimulai sejak 1980 dan modernisasi sistem pajak disekitar tahun1983
dan 1985. Hal ini karena Indonesia
bergabung dalam AFTA (Asian FreeTrade Area), APEC (Asia Pasific Economic
Cooperation) dan WTO (Word Trade Organization) sehingga perdagangan Internasional
menjadi sangat penting bagi perekonomian Indonesia.
Dalam perkembangan perdagangannya Indonesia
banyak mengalami hambatan akibat nilai tukar rupiah yang terus merosot dan
beberapa kali mengalami devaluasi. Sejak tahun 1986 nilai tukar rupiah
ditetapkan nilai tukar baru dimana nilai tukar rupiah ditetapkan sebagai floating
exchange rate. Pada krisis ekonomi
moneter tahun 1997 nilai tukar rupiah
sempat jatuh terpuruk hingga mencapai mencapai Rp15.000/U$$. Kemudian pada
kwartal terakhir 2008 terjadi
krisis ekonomi global yang yang juga menyebabkan rupiah terpuruk. Saat ini kisaran nilai tukar
rupiah mengambang pada kisaran Rp
9000-12.000/U$$.
Perkembangan nilai ekspor dan impor Indonesia dimana nilai ekpor dan impor Indonesia meningkat cukup besar. Pada tahun 2000 sebesar 62.124 juta U$$ dan 33.315 juta U$$ terus meningkat tahun sampai tahun 2006 sebesar 100.789 JUTA U$$ dan 61.065,5 U$$ .
Akibat liberalisasi perdagangan GATT (General Agreement on Trade and Tariff and Trade) hanpir semua negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Liberlisasi perdagangan cukup besar pengaruhnya dalam meningkatkan kapasitas produksi nasional, karena pasar yang semakin terbuka. Pembatasan ruang lingkup pada makalah ini menekankan pada melihat peluang eksport dan investasi yang terjadi yang berakibat pada peningkatan produksi dalam negeri dan peningkatan GDP dengan melihat kinerja keuangan yang diukur dari indikator ekonomi negara tersebut.
The Big Five GDP in the World 2007
|
|||
Peringkat
|
Negara
|
GDP (juta dollar)
|
proporsi
|
1
|
Amerika Serikat
|
13.811.200
|
25,51%
|
2
|
Uni Eropa
|
12.179.250
|
22,63%
|
3
|
Jepang
|
4.379.705
|
8,24%
|
4
|
Jerman
|
3.379.233
|
6,31%
|
5
|
China
|
3.280.053
|
6,26%
|
|
Dunia
|
54.347.038
|
100%
|
Sumber: World Bank 2007, diolah
Data Bank Dunia menunjukkan Amerika
Serikat menunjukkan peringkat ke-1 dengan
25,51 % dari GDP dunia seperti yang tercamtum pada tabel 1. Disusul
Jepang, Jerman dan China.
Peringkat kedua dari GDP
dunia akan membawa pengaruh cukup besar bagi perekonomian dunia secara otomatis
akan diwarnai aktivitas ekonomi negara Uni Eropa . Menurut Bank Dunia (2007),
Jerman adalah negara yang paling besar yang memberikan kontribusi dari GDP
negara Uni Eropa disusul Inggris dan
Luxembourge, merupakan penyumbang GDP terkecil dari GDP negara Uni Eropa.
Besarkecilnya GDP yang diperoleh suatu negara menunjukkan intensitas ekonomi
mereka. Makin tinggi intensitas aktivitas ekonomi negara tertentu akan
ditunjukkan dengan semakin tingginya GDP negara tersebut, sehingga secara
otomatis akan memberi peluang bagi negara lain untuk melakukan aktivitas
ekonomi dengan negara-negara ber GDP besar.
GDP adalah ukuran atas nilai pasar output berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, dan modal yang dihasilkan dalam suatu negara dalam periode waktu tertentu . Case and Fair (2005:396:400). Dalam menghitung besaran GDP, dapat digunakan pendekatan pengeluaran. Pendekatan pengeluaran menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri atas barang konsumsi atau jasa maupun barang modal. Pengeluaran dari pelaku atas ekonomi luar negeri dihitung dengan mengurangkan permintaan dalam negeri (impor) atas barang dan jasa luar negeri. Case and Fair (2005:396:400) . GDP adalah ukuran atas nilai pasar output berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, dan modal yang dihasilkan dalam suatu negara dalam periode waktu tertentu. Case and Fair (2005:396:400). Dalam menghitung besaran GDP, dapat digunakan pendekatan pengeluaran. Pendekatan pengeluaran menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi baik dalam negeri maupun luar negeri atas barang konsumsi atau jasa maupun barang modal. Pengeluaran dari pelaku atas ekonomi luar negeri dihitung dengan mengurangkan permintaan dalam negeri (impor) atas barang dan jasa luar negeri. Case and Fair (2005:396:400).
Berdasarkan
tabel 3. Komponen pembentuk GDP 58,62
berasal dari pengeluaran rumah tangga untuk barang konsumsi dari berbagai negara negara besar didunia
artinya angka GDP banyak dipicu oleh rumah tangga dibanding, pemerintah,
perusahaan, dan permintaan luar negeri.
Walaupun ekonomi rumah tangga negara Uni Eropa, Jepang, dan China memberikan kontribusi terbesar GDP belum dapat
menanding Amerika Serikat dengan kontribusi pengeluaran rrumah tangga 69,3%
terhadap GDP. Semakin besar angka kontribusi terhadap perolehan GDP semakin
besar peranan rumah tangga dalam melakukan intensitas aktivitas ekonomi mereka
dibanding pemerintah. Hal
ini dibuktikan dengan paling rendahnya kontribusi pemerintah terhadap perolehan
GDP di Amerika Serikat sebesar 19,06%
dibanding negara lain. Dalam tabel 3. menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri Amerika Serikat atas barang impor lebih
tinggi dibandingkan permintaan luar negeri Amerika Serikat atas barang-barang
produksi Amerika Serikat, sedangkan negara lainnya menunjukkan angka sebaliknya
termasuk negara Uni Eropa.
Tabel 3. Kontribusi Pengeluaran Pelaku
Ekonomi Terhadap GDP
Negara
|
Domestik
Demand
|
Foreign demand
|
|||
rumah tangga
|
pemerintah
|
Rumah tanggga pemerintah atas barang modal dan
persediaan
|
atau selisih antara ekspor impor
|
||
Atas barang konsumsi
|
|||||
euronzone
|
57%
|
19%
|
20,96%
|
1,66%
|
|
EU
|
58,62%
|
20,14%
|
20,14&
|
1,15%
|
|
Main Partner
|
|||||
USA
|
58,62%
|
20,14%
|
20,14&
|
1,15%
|
|
Jepang
|
69,30%
|
17,42%
|
25,48%
|
0,63%
|
|
China
|
56,68%
|
18,72%
|
19,27%
|
5,17%
|
|
Sumber : Eurostat, diolah
Dengan
melihat tabel 3, maka perusahan di Indonesia harus
melihat kebutuhan rumah tangga baik barang konsumsi yang durable, non durable
dan jasa. Semua negara Uni Eropa juga memperlihatkan pola pengeluaran yang sama
yang banyak didominasi rumah tangga. Apabila
dijumlahkan semua pengeluaran yang dilakukan rumah tangga, perusahaan
maupun pemerintah baik dalam wujud barang konsumsi, jasa dan barang modal akan
dapat diketahui permintaan dalam negeri. Semakin tinggi angka GDP apalagi
ditunjang permintaan dalam negeri jelas menunjukkan intensitas yang tinggi atas
aktivititas ekonomi negara tersebut dan selanjutnya akan memicu permintaan atas
barang dan jasa termasuk dari Negara lain.
Melihat angka GDP saja tidaklah Cukup untuk
menggambarkan aktivitas ekonomi suatu negara. Angka GDP akan memberi makna
apabila dibandingkan dengan dengan GDP tahun lalu. Dalam ilmu ekonomi
membandingkan GDP antar periode disebut pertumbuhan ekonomi. Apabila angka GDP
antar periode menunjukkan penurunan sepanjang masih positif, yang berarti angka
peningkatan jumlah out put suatu negara pada periode tertentu lebih kecil
dibandingkan angka GDP periode sebelumnya. Penurunan angka GDP apabila diikuti
dengan jumlah pengangguran akan menimbulkan permasalahan ekonomi yang disebut
resesi . Case and Fair(2005:416).
GDP Sebagai Indikator Kinerja Perekonomian
Internasional
Kinerja Ekonomi Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja yang belum
baik. Hampir seluruh indikator dari pilar ini menunjukkan posisi yang lebih
rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti : Malaysia,
Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Kinerja Ekonomi, dengan indikator GDP menunjukkan posisi yang cukup baik diraih oleh Indonesia. GDP menunjukkan dimana posisi Indonesia lebih baik dari negara-negara ASEAN lainnya.
Kinerja Ekonomi, dengan indikator GDP menunjukkan posisi yang cukup baik diraih oleh Indonesia. GDP menunjukkan dimana posisi Indonesia lebih baik dari negara-negara ASEAN lainnya.
Beberapa indikator lain, posisi Indonesia
berada pada peringkat yang kurang baik. Bahkan berdasarkan data yang ada
posisinya lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN. Indikator
tersebut antara lain :
- Pertumbuhan pengangguran pada tahun 2004 dimana Indonesia menempati ranking tertinggi dari negara-negara ASEAN seperti : Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
- Indeks pembangunan manusia pada tahun 2005 menempati posisi terendah dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
- Indeks kemiskinan menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
- Pembentukan Modal Kotor (Gross Capital Formation) sebagai % dari GDP pada periode tahun 1995 sampai dengan tahun 2005, Indonesia pada posisi terendah dari negara-negara ASEAN lainnya.
- Perdagangan sebagai % dari GDP pada tahun 2006, Indonesia terendah diantara negara ASEAN lainnya.
- Ekspor barang dan jasa sebagai % dari GDP pada tahun 2006, Indonesia menempati posisi terendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.
- Biaya pendaftaran bisnis sebagai % dari GNI (Gross National Income atau Pendapatan Nasional Kotor) per Kapita pada tahun 2006, Indonesia menempati ranking tertinggi. Sebagai perbandingan, Singapura mempunyai angka 0,8 sedangkan Indonesia 86,7.
- Jumlah hari untuk memulai sebuah bisnis pada tahun 2008, Indonesia menempati urutan tertinggi (105 hari), sedangkan Singapura hanya 5 hari.
- Biaya yang diperlukan untuk melakukan klaim dalam pelaksanaan kontrak (Cost to Enforce a Contract) yang dinyatakan sebagai persentase dari nilai klaim pada tahun 2006 menunjukkan di Indonesia relatif tinggi (126,5%). Pilar Sistem Inovasi
Kinerja Sistem Inovasi Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja
yang belum baik. Hampir seluruh indikator kinerja sistem inovasi menunjukkan
posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dari 20
indikator kinerja variabel Sistem Inovasi hanya beberapa variabel yang posisi Indonesia lebih
baik dari beberapa negara ASEAN, antara lain, Penerimaan Fee Royalti dan
Lisensi (peringkat ke 2 setelah Singapura). Berdasarkan data yang ada, beberapa
indikator lainnya posisinya lebih rendah dibandingkan Vietnam,
indikator tersebut antara lain :
- Jumlah peneliti di litbang per juta orang penduduk.
- Total belanja litbang sebagai % dari GDP.
- Perdagangan manufaktur sebagai % dari GDP.
- Artikel pada jurnal sains dan teknik.
Indikator
variabel Pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara
umum masih menunjukkan kinerja yang belum baik. Hampir seluruh indikator
kinerja Sistem Pendidikan menunjukkan posisi yang lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN. Bahkan untuk hal tertentu lebih rendah dari negara
Vietnam. Variabel tersebut adalah Tingkat Pendidikan Menengah (tahun 2006),
Harapan Hidup pada Kelahiran (tahun 2005).
Kinerja Sistem Teknologi Informasi dan
Komunikasi Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN secara umum masih menunjukkan kinerja
yang belum baik. Hampir seluruh indikator kinerja sistem TIK menunjukkan posisi
yang lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, posisi terendah
tersebut antara lain :
- Jumlah Koran (Harian) yang diterbitkan paling sedikit empat kali dalam seminggu per 1.000 orang pada tahun 2000 adalah 23.
- Internasional Internet Bandwith (bits per orang) pada tahun 2005.
- Belanja TIK sebagai % dari GDP pada tahun 2006.
Sebagai
perbandingan, Malaysia memiliki KEI sebesar 6,06. Kontribusi pilar rejim dan
kinerja ekonomi KEI adalah 6,18; inovasi 6,83; pendidikan 4,14; dan kontribusi
pilar TIK 7,08. Data ini menunjukkan bahwa pilar rejim dan kinerja ekonomi,
pilar inovasi dan pilar TIK sangat menonjol di Malaysia. Untuk dapat menyamai
Malaysia maka Indonesia secara rata-rata harus ditingkatkan 2 kali dari
masing-masing pilar.
Berdasarkan
uraian di atas dapat diulas tiga macam indikator makro ekonomi, yaitu
pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita dan investasi asing. Pengukuran
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di Indonesia menggunakan Produk
Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Produc/GDP) yang dihitung menggunakan harga
berlaku atau bisa juga berdasarkan harga tetap pada suatu tahun dasar. PDB
Indonesia adalah nilai barang dan jasa yang dilakukan oleh seluruh faktor
produksi di Indonesia baik yang dimiliki oleh orang Indonesia sendiri maupun
oleh orang asing. Jadi PDB tidak menyangkut siapa yang memiliki faktor produksi
tetapi menyangkut siapapun yang memiliki faktor produksi di wilayah Indonesia.
Biasanya
angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dipublikasikan BPS dan yang digunakan
oleh para ekonom, dihitung berdasarkan berapa persen pertumbuhan PDB Indonesia
dengan mengunakan suatu tahun dasar, misalnya tahun 1993. Sedangkan angka
pendapatan perkapita dihasilkan melalui membagi PDB Indonesia pada suatu
periode (biasanya satu tahun) dengan jumlah penduduk Indonesia. Misalnya
dikatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1996 adalah 8,7 persen,
berarti PDB Indonesia tumbuh sebesar 8,7 persen dengan menggunakan PDB tahun
dasar 1993.
Investasi
asing di Indonesia meliputi dua jenis, yaitu investasi sektor riil atau biasa
juga disebut investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) misalnya
investasi disektor industri, pertanian, pertambangan, dan investasi sektor non
riil atau investasi tidak langsung (Foreign Indirect Investment) berupa
investasi di sektor keuangan dan pasar modal (sektor moneter/sektor maya).
Besarnya arus modal asing masuk ke Indonesia, selain menggerakkan roda usaha
sektor riil juga diharapkan dapat memperbesar arus perputaran uang di pasar
uang, menambah kapitalisasi pasar modal/bursa saham Indonesia, serta
memperbaiki/menutupi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia yang selama
ini selalu dialami Indonesia.
Jika
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita serta arus masuk modal asing ke
Indonesia tinggi, apakah hal itu menggambarkan majunya perekonomian Indonesia
seperti yang biasanya diinginkan pemerintah dan para analis? Belum tentu!
Tingginya
pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan perkapita belum menjamin
baiknya atau majunya perekonomian nasional apalagi kalau dihubungkan dengan
tingkat kesejahteraan anggota masyarakat.
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di Indonesia sebelum era krisis, tidak menggambarkan bahwa
yang mengalami pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia, justru sebaliknya yang mendorong pertumbuhan adalah
unit-unit usaha yang dimiliki orang asing dan para konglomerat. Ketika masih
jayanya Orde Baru, 12 konglomerat Indonesia menguasai sekitar 35 persen PDB
Indonesia. Jadi selama ini malah usaha milik orang asing yang ditumbuhkan
pemerintah bukan usaha dalam negeri, bukan pula usaha yang digeluti oleh
sebagian besar masyarakat tetapi usaha yang digeluti oleh para konglomerat.
Begitu
pula dengan semakin meningkatnya pendapatan perkapita Indonesia tidak
menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan setiap warga negara Indonesia. Adalah
sungguh naif mengatakan pendapatan perkapita ini sebagai cermin bertambahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Hasil penelitian LIPI membuktikan
bahwa sebelum krisis terjadi 5000 orang Indonesia atau 0,02 persen dari
penduduk Indonesia menguasai 30 persen perekonomian nasional. Penelitian Aris
Ananta dkk (1995) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, 40 persen (75,3 juta jiwa)
lapisan masyarakat yang berpendapatan paling bawah (US$ 266) hanya menikmati
14,6 persen pendapatan nasional dan 40 persen (75,3 juta jiwa) lagi penduduk
lapisan berpendapatan menengah (US$ 755) menikmati 41,52 persen pendapatan
nasional, sedangkan 20 persen (37,7 juta jiwa) lapisan masyarakat berpendapatan
tertinggi (US$ 2.592) menikmati 43,87 persen pendapatan nasional. Hasil analisa
konsultan McKinsey berdasarkan potensi aset private banking (uang yang dimiliki
nasabah secara personal) menyebutkan bahwa 64 ribu orang Indonesia menyimpan
sekitar 257 miliar dolar Amerika di perbankan luar negeri. Ini berarti semakin
ke depan, pembangunan ekonomi Indonesia malah semakin memperlebar jurang
kesenjangan sosial ekonomi.
Penggunaan
konsep pendapatan perkapita yang diukur dari PDB menggambarkan jauh panggang
dari api. Di dalam PDB terdapat milik orang asing yang konstribusinya cukup
besar. Jadi bagaimana mungkin PDB digunakan sebagai basis menghitung pendapatan
perkapita bagi warga negara Indonesia. Jumlah yang besar dan terus bertambah
dari investasi asing di Indonesia membuktikan ketergantungan yang besar
perekonomian dalam negeri terhadap luar negeri. Ini bukanlah hal yang
menggembirakan apalagi bila dihubungkan dengan kepercayaan luar negeri.
Benarkah investasi asing menguntungkan bagi Indonesia ?
Secara
hitungan agregat dari nilai bersih (net) arus masuk modal asing (capital
inflow) ke Indonesia dengan arus pelarian modal ke luar negeri (capital
outflow), ternyata modal asing tidak menambah saving dalam negeri maupun
memperbaiki neraca pembayaran Indonesia, tetapi yang terjadi nilainya negatif
bagi Indonesia. Angka-angka neraca pembayaran yang diterbitkan oleh IMF, selama
periode 1973-1993, menunjukkan setiap 1 dolar Amerika yang masuk sebagai
investasi asing akan diikuti oleh keluarnya 10,19 dolar Amerika dari Indonesia.
Artinya setiap sekian miliar dolar Amerika investasi asing masuk ke Indonesia
akan diikuti sepuluh kali lipatnya uang yang keluar dari Indonesia. Ini
merupakan suatu resiko yang harus dihadapi dari repatriasi keuntungan ke luar
negeri oleh para investor. Pun dengan terjadinya praktek transfer pricing oleh
para investor yang semakin menambah beban neraca pembayaran Indonesia.
Investasi
asing bagi perekonomian riil baik terhadap negara maupun masyarakat sangat
merugikan. Sekarang banyak investasi asing yang memasuki wilayah publik serta
sumber daya alam (SDA). Dari pelabuhan laut sampai udara, dari industri semen
sampai obat-obatan, dari indsutri telekomunikasi sampai ke transportasi. Tentu
dengan dikuasainya aset-aset pelayan publik ataupun indsutri yang menguasai
hajat hidup orang banyak tersebut, maka pihak asing sangat dominan dalam mengatur
supply dan menentukan harga. Kemudian dibukanya kran pertambangan seperti
minyak bumi dan gas alam, emas dan tembaga, serta SDA lainnya, menyebabkan
terkurasnya SDA tersebut untuk kepentingan asing seperti kasus pertambangan
Freefort di Irian/Papua. Seharusnya pertambangan tersebut adalah milik rakyat
Indonesia yang digunakan sepenuhnya bagi mereka dan dikelola oleh negara, bukan
investor asing. Tidak jarang juga investor asing memasuki skope usaha yang
lebih kecil yang menyebabkan perekonomian masyarakat semakin tersingkir. Adalah
sangat naif kebijakan pemerintah sekarang dengan mengupayakan “sekuat-kuatnya”
untuk meningkatkan kepercayaan para investor luar negeri terhadap perekonomian
Indonesia agar mereka menanamkan modalnya di Indonesia. Mengapa ? karena hal
ini sama saja pemerintah menaruh kepercayan kepada investor luar negeri agar
mereka menggorok usaha-usaha ekonomi masyarakat serta mencekik hak masyarakat
terhadap pelayanan publik dan hak akan manfaat dari sumber daya alam Indonesia.
Berdasarkan
penilaian ketiga indikator tersebut, tidaklah layak bagi kita untuk
menjadikannya sebagai faktor utama yang harus dipercayai untuk mengukur maju
mundurnya perekonomian Indonesia. Apalagi bila dijadikan sebagai target utama
pembangunan. Terbukti tingkat kepercayaan yang luar biasa atas indikator makro
ekonomi tersebut, pemerintah dan seluruh masyarakat tertipu, bahwa selama ini
tidak “merasa” terdapat bahaya yang telah menghadang Indonesia.
Dan
sampai sekarang, pemerintah dengan didukung analis ekonomi pro pasar bebas
(kapitalis), tetap menjadikan ketiga indikator tersebut, terutama pertumbuhan
ekonomi dan investasi asing sebagai basis dan asas perekonomian dalam negeri.
Kebijakan atas indikator makro ekonomi ini, tentu sangat mengecewakan. Di sisi lain untuk
mengedepankan indikator lain yang lebih menggambarkan kondisi perekonomian
Indonesia, pemerintah sejak era krisis justru semakin mengencangkan pegangannya
pada pertumbuhan ekonomi dan investasi asing.
Terlalu
percayanya pemerintah dan para analis terhadap indikator makro ekonomi
tersebut, harus digugat, pertama karena menyebabkan negara ini lalai dan tidak
waspada terhadap bahaya besar yang menimpa negara dan masyarakat Indonesia.
Kedua, karena kebijakan tersebut secara riil mencerminkan pembangunan dilakukan
untuk pihak asing dan pihak konglomerat bukan untuk masyarakat. Ketiga, supaya
pemerintah menghentikan kebijakan-kebijakan yang terlalu mempercayai dan
berpegang teguh pada indikator makro ekonomi tersebut yang selama ini dijadikan
sebagai landasan pembangunan ekonomi. Keempat, supaya pemerintah melakukan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang benar-benar bermanfaat bagi setiap
individu masyarakat Indonesia, dan berusaha untuk merubah asas dan pola sistem
ekonomi yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Untuk
mengetahui perkembangan pembangunan dan perekonomian, seharusnya yang
diutamakan dan menjadi target adalah indikator-indikator yang lebih menyentuh
bagaimana gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya, karena itu
indikator ekonomi tidak boleh lepas dari dari indikator sosial dan hukum.
Misalnya indikator sosial-ekonomi-hukum yang menjadi alat ukur utama dan target
pembangunan dan perekonomian nasional adalah indikator tingkat
terpenuhi-tidaknya kebutuhan-kebutuhan primer setiap warga negara yang meliputi
makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan keamanan, indikator
kemiskinan, ketenagakerjaan dan pengangguran, kriminalitas. Hal ini bukan
berarti mengabaikan pertumbuhan ekonomi, tetapi hanya tidak menjadikannya
sebagai target utama dan asas pembangunan. Bahkan sampai berapa jumlah gepeng,
WTS, korupsi, pencurian/perampokan dan tindakan kriminal lainnya harus
diketahui apakah menurun ataukah meningkat. Percuma pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan perkapita tinggi jika jumlah gepeng, WTS, kriminal, pengungsi di
negeri sendiri, orang kelaparan, pelajar dan mahasiswa yang berhenti
sekolah/kuliah meningkat pula. Sia-sia
pula pertumbuhan ekonomi tinggi jika yang tumbuh adalah sektor riil dari bidang
yang tidak halal seperti sektor pelacuran, perjudian, pariwisata yang penuh
maksiat, dan terutama jika yang menopang pertumbuhan tersebut adalah sektor non
riil seperti pasar uang dan bursa saham.
Memang
untuk menghitung indikator-indikator tersebut dalam kondisi sekarang cukup
sulit, juga perlu definisi dan standar atas indikator tersebut. Tetapi ini
harus diusahakan, agar kita mendapatkan gambaran yang jelas dan riil sehingga
diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah tidak salah arah lagi.
Satu
hal yang paling penting untuk perbaikan ekonomi secara menyeluruh dan
komprehensif, memerlukan perbaikan di bidang-bidang lainnya, sehingga harus ada
kebijakan untuk merubah sistem ekonomi dan sistem hukum lainnya. Harus ada
upaya untuk merubah sistem ekonomi sekarang yang notabene sistem ekonomi kapitalis,
ke sistem ekonomi alternatif yaitu sistem ekonomi Islam. Jika tidak dilakukan,
mungkin indikator makro ekonomi yang
diutamakan dan menjadi target pembangunan ekonomi adalah indikator makro
ekonomi seperti yang dipermasalahkan
tersebut.
Daftar Pustaka
Aninndita , Ratya dan R.Reed, Michael, 2008, Bisnis dan Perdagangan Internasional, Penerbit Andi..
Case E, Karl and Fail C. Ray, 2005, Principle of Economics, Prentice Hall
international Inc, New Jersey,
Madura,
Jeff, 2000. International Finacial Marketing,
South Western College
Publishing.
Salvatore Dominic, 2003, International
Economic, Prentice Hall
international Inc, New Jersey.
-----------, 2006, Eurostat, Collection New
Release , Theme Economic and Finance.
World Bank, 2007, World Development Indicator
Database .
Bamk
Indonesia, 2007, Indikator moneter dan perbankan
Statistik Ekpor Impor, 2007. Prentice Hall
international Inc, New Jersey
Mateb bune kudune awakmu sing dadi menteri ...
BalasHapusYa...aku wis dadi menteri urusan pawon :))
BalasHapuskita juga punya nih artikel mengenai 'Indikator Makroekonomi', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6265/1/JURNAL%20SKRIPSI.pdf
terimakasih