Powered By Blogger

Selasa, 01 November 2011

Suatu hari di Telaga Ngebel

Suatu hari di Telaga Ngebel 

Pada hari yang sudah kusepakati aku mengajak  sohibku  bu Peni dan anakku Nina  jalan-jalan ke Telaga Ngebel. Jarak dari Madiun ke telaga Ngebel tidak terlalu jauh kurang lebih  hanya memakan waktu sekitar 1 jam saja. Maka kuputuskan untuk berangkat tidak terlalu pagi. Mengikuti gejolak  jiwa yang suka bertualang  dan ikut Pramuka sejak SD, serta menguji keberanian dan ketrampilan dalam mengemudikan mobil  memaksa aku untuk ke sana. Sebelum kesana tentunya sudah siap perbekalan berupa makanan kecil  dan minuman  botol. Maklum anak perempuanku yang cantik itu  kalau  stress  suka menjejalkan makanan di mulutnya  
Terbiasa mengemudikan mobil sendiri ke Malang melalui kelok-kelok gunung sejak tahun 1996, menurut aku  medan menuju  Telaga Ngebel  bukanlah medan yang sulit. Kukemudikan Kijang Solar  yang bisa mengangkut 8 penumpang, sambil menikmati pemandangan  alam lereng gunung Wilis sebelah barat, anakku selalu mengingatkan agar hati-hati , awas ma!  Supir  cowboy!,  aku selalu menjawab:  tenang… tenang….he…he….
Setelah melewati  jalan  yang  naik-turun  dan berkelok,  tibalah pada sebuah gerbang masuk untuk  membayar retribusi  memasuki kawasan telaga. Begitu memasuki  kawasan telaga Ngebel aku merasakan  kesejukan  dan suasana teduh. Pandangan mataku dimanjakan oleh hamparan air yang hijau, jernih nan tenang.  Kususuri  tepian telaga  pelan-pelan.  Menurut aku jalana di pinggir telaga ini sempit.  Sekali-kali aku senyum sendiri  ketika menjumpai  sepeda motor  yang di tupangi muda-mudi yang  sedang memadu kasih  berhenti  di pinggir telaga. Aku jadi teringat masa remajaku. Waktu masih SMA aku pernah ramai-ramai ke sini dengan teman-teman SMAku.
Aku mengamati pohon-pohon tua dengan akar-akarnya yang bergelayut serta rimbun daun hemmmm…..sungguh mempesona. Kesusuri tepian telaga  sebelah timur  sambil menikmati  pemandangan  disekitarnya  mendamaikan hatiku. Sampai pada suatu area yang cukup lapang aku memarkir mobil. Di area ini terdapat bumi perkemahan, penginapan, dan banyak warung makanan, pedagang buah-buahan.
Sambil celingak-celinguk melihat sekitar, kami  masih mau memilih masuk ke sebuah warung makan. Tiba-tiba hujan turun sangat deras, memaksa kami untuk masuk warung yang ada ada dipinggir telaga. Hujan yang sangat deras  sehingga air memercik ke bangku  lesehan, tapi aku bersikeras melarang pemilik warung menutup tirai demi melihat pemandangan telaga dan keramba ikan yang mengapung.
Seketika perut terasa lapar mencium aroma  ikan nila bakar  yang dibudi-dayakan  dalam keramba di telaga ini.  Ku menikmati gurihnya  nila bakar dan menghirup teh panas sambil menatap panorama yang indah dan masih perawan.  Kurasakan alam dan lingkungan telaga Ngebel masih menyajikan suatu misteri ketika berada di dalamnya.
Dari beberapa sumber ku peroleh informasi bahwa keistimewaan telaga Ngebel adalah  kekayaan akan sumber alam tawar bersih yang keluar dari sumber-sumber air  di dasar telaga sedalam kurang lebih 52 meter. Tanah subur di sekitar telaga ini juga menghasilkan aneka pohon buah berkualitas. Durian Ngebel, menjadi buah primadona kawasan ini. Selain itu, tumbuh subur pula pohon manggis, nangka, pisang, apokat, mangga kweni, pete dan tanaman perkebunan seperti cengkeh, coklat dan kopi.
Kami ngobrol ngalor-ngidul,  sambil nggak lupa kami berfoto-foto narsis, juga memotret keindahan alam. Ketika hujan tinggal rintik-rintik dan hari sudah menjelang sore, kami memutuskan untuk pulang. Sebagai sopir aku punya hak prerogatif untuk memutuskan lewat mana arah pulangnya. Maka kuputuskan untuk mengelilingi telaga dengan menuju kearah barat. Tak kukira bahwa jalan kesana sangat kecil, sebelah kiri bibir telaga dan sebelah kanan dinding bukit.
Dalam hati hanya bisa pasrah dan berdoa semoga ada cerukan untuk memutar berbalik kearah kembali. Suasana sepi tanpa ada orang lain dan lalu lalang sepeda motor terasa sangat mencekam. Aku hanya meminta pada bu Peni dan Nina untuk berdoa.  Mobil menyusur pelan-pelan kutatap jalan ke depan dan kulirik telaga yang berselaput kabut. Pohon-pohon yang menjuntai keair membentuk bayangan gelap. Tenyata jalan terhubung dengan jembatan kecil oh….My God. Jembatan kayu yang nggak mungkin dilalui  bersimpangan dengan mobil lain….tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku melihat anakku dari kaca wajahnya kulihat cemas. Lalu aku berkata mereka …tenang … tenang ayo berdoa. Lalu aku turun.. kuamati jembatan  balok itu… kurasa cukup  kuat dan bisa dilalui  lalu kuukur kanan dan kiri … ah masih ada jerak satu jengkal di kanan dan kiri. Lalu… aku masuk kembali… Bismillah.. kujalankan mobil dan kudengar bunyi gleduk…gluduk sampailah diseberang jembatan kayu… Alhadulillah. Kudengar rasa syukur terucap dari terucap dari mulut bu Peni dan Nina. Tawa  riang kembali terdengar… kususuri lagi telaga kulihat bu Peni sudah sibuk lagi memotret telaga yang indah sampai akhirnya  bertemu dengan pintu gerbang lagi. Sejenak aku teringat kembali kisah keberadan telaga Ngebel dan misterinya….bulu kudukku berdiri. Kuhembuskan mafas panjang …terasa lega karena tidak ada aral yang merintangi selama berwisata ketelaga Ngebel bahkan aku lihat ada pelangi semburat di arah barat dalam perjalanan pulang. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar